VIRAL24.CO.ID – MEDAN – Arus digitalisasi banyak merubah peradaban masyarakat dunia di segala aspek kehidupan. Tak terkecuali dalam dunia jurnalisme. Karena itu, para pekerja di sektor bisnis media massa mesti adaptif dengan perubahan kemajuan zaman saat ini.
Pegiat media kreatif Sumatera Utara, Dedi Sinuhaji, menyampaikan masyarakat di era digitalisasi menuntut apa yang mereka inginkan. Bukan lagi sekadar menunggu informasi apa yang disajikan oleh media mainstream baik surat kabar, elektronik maupun online.
“Dahsyatnya lagi bahwa (platform) media sosial memberi efek luar biasa memengaruhi publik atas sebuah informasi/peristiwa yang terjadi. Sekarang ini, pemberitaan atau penyajian informasi media mainstream belum tentu berefek besar seperti viralnya sebuah peristiwa melalui medsos,” katanya saat menjadi pemateri Pelatihan Jurnalisme Digital yang digagas Dinas Komunikasi dan Informatika Sumut, di Swiss-Belinn Jalan Gajah Mada, Medan, Selasa, (27/6/2023).
Menurut mantan ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan ini, penggunaan platform medsos dampak arus digitalisasi ikut bergeser dari yang tadinya untuk menjalin pertemanan, kini menjadi ajang promosi serta pencitraan.
“Pasar medsos ini sangatlah besar, tinggal sejauh mana teman-teman mampu menangkap peluang dan konsisten dengan karya-karya yang dibuat untuk menjadi bagian dari jurnalisme digital,” kata Dedi dihadapan puluhan peserta pelatihan dari Forum Wartawan Pemprovsu (FWP).
Pewarta foto di Kantor Berita European Pressphoto Agency (EPA) ini dengan senang hati turut membagikan pengalamannya merintis portal berita sendiri, lalu mengepakkan sayap bisnis media kreatifnya melalui berbagai platform medsos seperti Facebook, YouTube, Instagram hingga TikTok.
“Sebagai contoh dalam akun medsos media teman-teman itu jangan lupa cantumkan brand medianya. Lalu bermainlah dengan konten berita visual (video) dalam menyuguhkanya kepada warganet. Sekarang sudah sangat gampang dan banyak aplikasi pendukung untuk mengedit video. Kalau bisa pakai aplikasi berlangganan pertahun, sehingga media kita nampak profesional meski masih indhi level. Dan harganya masih terjangkau, kok,” urai pemilik medantoday.com tersebut. “Jika sudah berkembang, bisa nokang dua (dapat pemasukan dobel) dari kehadiran berita kita di akun medsos itu. Tapi saya anggap itu merupakan pasif income,” imbuh mantan fotografer Koran Sindo dan Tribun Medan tersebut.
Mengenai medsos yang hendak digunakan, lanjut Dedi Sinuhaji, bisa difokuskan beberapa platform saja. Saat ini yang masih berpeluang menghasilkan cuan alias uang, adalah dari FB atau Instagram.
“TikTok juga luar biasa efeknya. Jangkauannya sangat luas kepada warganet. Sehingga peluang mendapat iklan dari situ besar sekali. Saya menyebutnya ‘king’ sebagai konten yang diproduksi. Dan ‘queen’ sebagai engine delivery konten kita melalui platform mana yang akan digunakan. Saya sudah merasakan hasilnya dari situ sejak merintis medantoday tahun 2016,” ungkap dia.
Selain Dedi Sinuhaji yang membawakan tema ‘Jurnalisme Digital di Tengah’, turut menjadi pemateri dalam pelatihan yaitu Nurhalim Tanjung (ahli pers Dewan Pers), dan T Agus Chaidir selaku Koordinator Liputan Tribun Medan.
Agus Chaidir menyebut era digitalisasi sebenarnya sudah lewat dan kini masuk era digital robotik. Tetapi perkembangan dari jurnalisme digital itu yang penting untuk disikapi oleh para pelaku media massa termasuk jurnalis.
“Supaya kita tidak seperti dinosaurus ikut punah terlindas zaman. Intinya kita sebagai wartawan harus adaptif dengan perkembangan zaman” ucapnya.
Salah satunya dari kehadiran teknologi kecerdasan buatan atau AI yang disinyalir menjadi ancaman nyata bagi industri media.
“Kalau dulu sering kita dengar namanya jasa pembuat skripsi, sekarang melalui teknologi AI itu sudah tersedia banyak sekali referensi skripsi. Jadi dua tahun lagi kita tidak tau apakah kita masih ada di sini lagi atau tidak?” ungkapnya.
Begitupun, pria berambut putih ini memaparkan, berdasarkan data sebagai referensi materinya, bahwa peluang media mainstream masih terbuka lebar untuk meraup keuntungan alias mengelola bisnis pada sektor dimaksud. Meskipun kini sudah masuk era digital robotik. Sebab dalam sistem robotik, informasi yang dihadirkan masih mencantumkan sumber asal atau nama medianya. Artinya, profesi jurnalis masih tetap dibutuhkan. Tetapi di sisi lain, perkembangan itu tak bisa pula dikesampingkan.
Selain itu, kata Agus, peluang bertahan media mainstream didasari pada beberapa aspek. Antara lain, masih tingginya pengguna internet dan aktivitas medsos masyarakat Indonesia terutama dalam melihat konten berita atau informasi setiap harinya.
“Ini peluang kita sebenarnya. Bahwa tren itu masih ada. Supaya kita tidak punah, itu dimanfaatin aja. Identifikasi segmen kita terlebih dahulu, lalu pilih platformnya apa, dan konsisten. Jika gagal coba lagi dan lagi,” ujarnya.
Soal segmen, lanjut Agus Chaidir, dapat dipilih selain bermuatan informasi juga untuk konten yang mendidik. Adapun konten yang masih terus diminati oleh warganet atau netizen sampai sekarang dan itu dapat menghasilkan benefit, antara lain seputar spiritual atau berbau kegamaan, dan practical benefit.
“Practical benefit ini seperti cara membuat kolak pisang yang enak dan sebagainya itu, tips-tips ini sangat bermanfaat dan efeknya luar biasa diminati oleh warganet. Ini juga peluang bagi kita untuk digarap dan kami di Tribun Medan sudah menerapkannya sejak kemunculan TikTok,” ungkap dia.
Sedang Digodok
Nurhalim Tanjung memaparkan bahwa saat ini Dewan Pers tengah menggodok regulasi baru untuk melindungi pekerja media dari delik Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dikatakannya, tidak sedikit dari pekerja media terkhusus para jurnalis tersandung kasus hukum akibat berselancar via medsos.
Nantinya secara teknis, kata Nurhalim, setiap pekerja media yang memiliki akun medsos supaya didaftarkan resmi ke Dewan Pers.
“Saat ini kalaupun teman-teman mau mengomentari sesuatu, mengkritik pemerintah atau lembaga negara manapun, mesti melampirkan link berita disetiap memosting di akun medsos. Sertakan link berita dari sumber terpercaya di mana medianya telah terverifikasi oleh Dewan Pers. Untuk hal ini Dewan Pers siap memfasilitasi jika teman-teman tersandung masalah hukum. Tetapi paling terpenting tetap berkomentar tidak menyinggung SARA, tidak tendensius dan fitnah,” ujar dosen STIK-P Medan tersebut.
Di sisi lain, imbuh dia, wacana medsos bakal menjadi media jurnalistik rintisan tengah dibahas lebih komprehensif oleh Dewan Pers. Hal itu tak dapat dipungkiri, bahwa sebuah kejadian sekarang ini lebih cepat diperoleh masyarakat dari medsos ketimbang media mainstream.
Pelatihan ini dibuka Kadis Kominfo Sumut, Dr Ilyas S Sitorus mewakili Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi. Dipandu oleh moderator Nirwansyah Sukartara dan Jonris Purba selaku Master of Ceremony (MC).
Turut hadir Kepala Bidang Komunikasi Informasi Publik Diskominfo Sumut, Harvina Zuhra, Ketua FWP Zulkifli Harahap dan Sekretaris, Ade Friadi beserta jajaran kepengurusan. (RED01)